Aug 23, 2014

[Road Less Traveled] Penasaran Ada Apa di Bawean? (PART 2)


Cerita ini sambungan dari sini 

Kapal kayu yang kami tumpangi terus melaju di pesisir pulau Bawean. Sudah hampir setengah jam perjalanan sejak dari darat, namun pulau tujuan berikutnya masih di luar jarak pandang. Warna langit dan Laut Jawa yang membiru selalu menarik perhatian saya untuk menoleh ke arah kanan. Dari kejauhan itu nampak sesuatu berwarna putih yang cukup luas di tengah-tengah laut. Tak lain lagi itu adalah Pulau Noko, salah satu spot yang menjadi alasan para pelancong mengunjungi pulau Bawean.

"Kita nggak ke sana dulu, mas?" tanya saya sambil menunjuk ke arah Noko.
"Nanti, sekalian pulangnya aja. Sekarang kita ke Gili dulu," jawab mas Riri (local guide).

Putih-putih tipis di tengah cakrawala itu Pulau Noko
Rasa penasaran sekaligus cemas melanda pikiran ketika saya melihat jarum jam menunjukkan pukul 16:30. Saya nggak mau kehilangan momen di pulau Noko nanti. Dengan kata lain, hasil foto akan lebih bagus jika masih ada penerangan alami dari matahari.

Kapal kayu bermotor ini terlihat sudah tua, mungkin hampir sama umurnya dengan bapak pemiliknya. Kondisinya bisa terlihat dari beberapa kali si bapak membuang air yang masuk ke dek kapal dengan gayung. Tanpa rasa khawatir yang berlebih, ia tetap melaju semaksimal mungkin membelah birunya Laut Jawa

Sama seperti warga Bawean lainnya, bapak Danu (lupa nama aslinya) juga pernah merantau ke negeri Jiran beberapa tahun lalu. Belasan tahun ia bekerja di Malaysia sebagai kuli dan sudah pernah "mencicipi" hampir semua negara bagian, dari Johor hingga Terengganu. Dari penghasilan merantaunya itu, bapak Danu bisa menghidupi dirinya sendiri di luar negeri beserta keluarganya yang masih berada di Bawean.

Namun setelah sekian tahun ia merantau, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Rasa rindu akan keluarganya yang menarik ia untuk menetap di Bawean. Tadinya ia ingin membawa semua keluarganya untuk menetap di Malaysia. Namun, apa daya, izin tinggal di negara orang emang nggak semudah membalik telapak tangan. 

Pepohonan hijau layaknya hutan tampak menyelimuti sebagian besar Pulau Bawean dan pulau-pulau kecil di sekitarnya membuat mereka tampak tak berpenghuni, salah satunya Pulau Selayar. Pulau kecil yang menjulang tinggi ini hampir tak terlihat daratannya karena tertutup pepohonan lebat. Ada lagi Pulau Cina, pulau kosong yang baru beberapa hari lalu, sejak saya tiba, ditemukan mayat wanita tanpa kepala di pantainya. 

Isi bensin sambil jalan
Pulau Selayar tak berpenghuni
Air laut bening kebiruan menyambut kedatangan kami di Pulau Gili, begitu juga dengan para warganya yang mayoritas kaum wanita (ibu-ibu). Sementara, sebagian besar kaum pria sibuk di luar pulau demi menafkahi keluarga. Salah satu ibu yang terlihat lebih gaul (Ibu Ria, bukan nama asli) membawa kami berkeliling pulau. Pulau Gili tampak sepi sore itu karena para penghuninya lebih terbiasa berkumpul di salah satu pantai untuk saling bercengkerama.

Tidak seperti Bawean, Pulau Gili lebih kecil dan masih belum banyak fasilitas pendukung kehidupan. Listrik cuma mampir dari jam 5 sore hingga jam 10 malam saja. "Kita jadi susah mau telponan sama anak dan teman-teman di luar. Mau charge HP saja kita harus rebutan," cerita Bu Ria sambil sesekali tertawa kecil.

Merapat di Pulau Gili
Ibu Ria melanjutkan ceritanya tentang pulau yang ia anggap tak ada apa-apanya ini. Seakan-akan ia menyembunyikan rasa keluh akan kehidupannya yang jauh dari kata modern di balik senyumannya itu. Kedatangan tamu asing seperti kita-kita ini tentu saja sedikit memeriahkan suasana hati mereka. Sekilas saya merasakan empati, "Gimana rasanya ya kalo hidup di daerah terpencil kayak gini? Sebulannn aja. Gua tahan, gak, ya?" tanya saya dalam hati.

Tak berapa lama, Ibu Ria malah mengajukan pertanyaan yang membuat kami agak di shock-therapy.

"Kalian nginap di sini, ya?"
"Sehari aja sini.." pintanya dengan wajah memelas.

Andai kami punya waktu lebih, mungkin kami tidak akan menolak permintaan Ibu Ria. Namun, kami masih harus melanjutkan perjalanan, balapan waktu versus matahari menuju Pulau Noko. Saya bisa merasakan perasaan para warga Pulau Gili lewat obrolan kami dengan Ibu Ria. Kayaknya mereka ingin curhat, menyampaikan sesuatu yang selama ini membebani hati mereka. Suasana sepi di pulau terpencil menjadi rutinitas yang membosankan, makanya ada "hal kecil" yang baru pun menjadi suatu hal yang luar biasa bagi mereka. 

Suasana yang sepi nan damai di Pulau Gili
Kami langsung bergegas menuju kapal mengingat 45 menit lagi matahari akan terbenam. "Ngebut, pak! Ngebut!" teriak saya pada Pak Danu karena suara mesin yang cempreng. Kapal kecil itu terus ngebut, sengebut-ngebutnya, meski lebih cepat saya berlari dibandingkannya, hingga akhirnya tiba di Pulau Noko jam 6 sore lewat sedikit.

Lalu, apakah kami berhasil tiba tepat waktu? Hampir telat! Sinar terang matahari sudah hampir bersembunyi di balik pegunungan Pulau Bawean. Tanpa ba..bi..bu.. lagi, masing-masing langsung siap dengan gadget-nya. Pulau pasir di tengah laut ini memang menjadi andalan wisata Bawean, bahkan dari yang saya baca di salah satu artikel di internet, katanya keindahan Pulau Noko ini hampir bisa disamakan dengan pulau pasir yang ada di Maldives.

Di tengah-tengah pulaunya terdapat papan kayu hijau bertuliskan "Selamat Datang di Pulau Noko..." yang baru saja dipasang beberapa minggu yang lalu. Hamparan pasirnya yang seluas setengah lapangan bola mengundang kami untuk berkeliling sebentar cuma untuk sekedar menikmati hempasan ombak kecil di tepi pantai. Saya sedikit kehilangan momen keindahan maksimalnya karena hari sudah terlanjur agak gelap. Efek sampingnya, foto-foto jadi blur dan kurang bagus.

Benda paling tinggi di Pulau Noko


Bakal lebih bagus kalau terang
Seperti ini, nih.. momen sempurnanya (Sumber: kaskus.co.id)

Tentu saja saya sendiri juga tidak tahu seberapa indah pantai pasir di Maldives saat itu. Namun bagi saya, Pulau Noko sendiri sudah dapat menggambarkan secara jelas keindahan sebuah surga berupa pulau kecil  yang masih jarang terjamah bernama Pulau Bawean. 


Kaki-kaki dekil menuju pulau surga


"Leave nothing but footprints. Take nothing but pictures. Kill nothing but time"

(Maret 2014)

8 comments:

  1. di lombok gili itu pulau manakala di bawean ada pulau gili. unik namanya :D

    ReplyDelete
  2. Baguss pulau nokonyaa gak nyangka ada pulau keren gt di deket tempat tinggal saya hehe eh tapi Pulau cinanya ngerii kak :((

    ReplyDelete
  3. Wuih, memang benar ya Indonesia itu indah. Tapi sayang yang indah-indah itu lokasinya terpencil, hehehe. Itu mereka yang tinggal di pulau Gili bermata pencaharian seperti apa ya? Kok maunya tinggal di pulau (yang katanya terisolir) seperti itu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tentunya nelayan seperti orang pantai kebanyakan. Namun, sebagian besar bapak2 merantau ke pulau Jawa atau mungkin ke Malaysia.
      Entahlah, tapi yg namanya kampung halaman selalu ada magnet bagi siapa aja.

      Delete
  4. kerennnn .....
    om tukang makan angin ini .. senang jalan2-nya ke tempat yang anti main stream.... saya jadi tahu tempat2 indah yang jarang sekali di publikasikan.
    ... saya baru tahu ada tempat seindah pulau noko .. kerennnn

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trima kasih, gan...

      Sebenarnya pulau smacam itu pasti banyak di Indonesia timur, tapi kalau paling dekat dengan P. Jawa menurut saya ya Noko ini.

      Delete
  5. mau tanya, kalau boleh tau kira2 tarif sewa perahu nelayan dari bawean ke pulau gili brapa ya? terimakasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Silakan Ainul.
      Bulan Juni saya dapat dr kabar dari orang lokal, harganya kisaran Rp500k.
      Dengan harga segitu kamu udah bisa ke Gili, Noko, dll.

      Dianjurkan sewanya rame2 biar ga berat di ongkos.

      Delete