Tampak keren rusun kami di Kabil (©Christian Daryanto Limas)
Sebelumnya saya pernah bercerita tentang pengalaman bagaimana kehidupan di "Papua-nya Batam". Kali ini akan menceritakan tentang eksplorasi keadaan daerah sekitar Kabil. Lalu bagaimana kami sebagai anak-anak pinggiran pulau untuk mencapai peradaban.
Saya memang sudah terbiasa hidup sebagai suburban ibu kota, di mana segala sesuatu terasa lebih ekstrim. Butuh perjuangan ekstra bila ingin mencapai peradaban. Selain karena jaraknya yang cukup jauh ke pusat kota, macet tentu saja selalu menjadi kendala utama para penghuni Jakarta dan sekitarnya.
Yah, intinya saya sudah cukup elus dada dengan hal-hal seperti itu. Jadi secara mental dan kesabaran, saya sudah siap untuk tinggal di pulau Batam yang saya pikir tidak tertinggal jauh dari ibu kota negara.
Namun bagaimana kalau ternyata hidupnya bukan di pinggiran kota, tapi malah di pinggiran pulau? Saya sama sekali tidak menyangka sebelumnya kalau daerah Kabil yang bakal saya tinggali selama 5 bulan ke depan ini adalah kawasan industri, yang tampak wajahnya saja sudah seperti planet Mars.
Jarang sekali ada pengunjung luar kota yang berkunjung ke Kabil, kecuali mereka yang benar-benar punya kepentingan, seperti para pekerja pabrik dan para warga yang memiliki hunian di sekitar sini. Namun, itupun sangat-sangat jarang sekali. Seperti salah satu teman kampus saya yang sejak kecil hingga SMA hidup di Batam, tapi dia tidak pernah ke Kabil sama sekali.
Saya maklumi saja. Bukan karena dia tidak gaul, namun memang di Kabil ini tidak ada apa-apa, kecuali perbukitan dengan beberapa lahannya yang diselimuti pepohonan yang tidak jauh dari pantai.